Penulis kitab Sunan An-Nasaa-i bernama Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr
An-Nasaa-i, beliau biasa dipanggil dengan kunyah Abu Abdurrahman. Beliau lahir
pada tahun 215 Hijriyyah dan wafat pada tahun 303 Hijriyyah. Beliau dikenal
sebagai hafizh hadits, Syaikhul Islam, pengkritik hadits dan penulis kitab
As-Sunan[1],
sebagaimana dijelaskan biografinya oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam
An-Nubala jilid 14 halaman 125.
Kitab Sunan An-Nasaa-i ini adalah penyeleksian Imam An-Nasaa-i dari
hadits-hadits lemah (dhaif) dari kitab Sunan Al-Kubra, sebuah karya hadis
beliau sebelumnya, sehingga didalamnya hanya tersisa hadits yang beliau nilai
shahih. Latar belakangnya adalah ketika sekembalinya dari perjalanannya menuju
Mesir melewati Palestina, maka beliau singgah di kota Ramalah. Kemudian beliau
ditanya oleh gubernurnya, “Apakah semua hadits yang terdapat dalam sunan-nya
adalah hadits shahih?” beliau menjawab, “Tidak.” Gubernur berkata, “Pisahkan
hadits yang shahih darinya!”
Maka beliau meringkasnya sebatas hadits-hadits yang dianggap shahih dan
memberinya nama Al-Mujtaba atau al-Mujtana yang juga dikenal dengan nama
As-Sunan Ash-Shughra.
Berkaitan dengan metodologi Imam An-Nasaa-i dalam As-Sunan, Ahmad bin
Mahbub Ar-Ramli berkata, “Saya mendengar Imam An-Nasaa-i berkata, “Ketika saya
bertekad mengumpulkan hadits (kitab as-sunan). Saya beristikharah kepada Allah
dalam meriwayatkan hadits dari guru-guru yang mana di hatiku terdapat sedikit
aib, kemudian saya memilih untuk meninggalkan riwayat mereka, lalu saya
meninggalkan sejumlah hadits dari mereka yang semula saya banggakan.”
Jerih payah Imam An-Nasaa-i dalam menyusun kitab ini mendatangkan banyak
pujian dari para ulama lain, misalnya Abu Al-Hasan Al-Ma’afiri, beliau berkata,
“Apabila saya memperhatikan hadits yang dikeluarkan oleh ahli hadits, maka
hadits yang dikeluarkan oleh imam an-Nasaa-i lebih mendekati shahih
dibandingkan hadits yang dikeluarkan oleh selainnya.”
Al-Hafizh Ibnu Rasyid berkata, “Kitab an-Nasaa-i termasuk kutub Sittah
yang paling sedikit –setelah ash-Shahihain- memuat hadits dhaif dan perawi
cacat. Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzi mendekatinya dalam kategori itu.
Sedangkan dari sisi yang lain, Sunan Ibnu Majah bersebrangan dengannya, karena
ia bersendirian dalam meriwayatkan hadits dari orang-orang yang tertuduh
berdusta.
Muhammad bin Mu’awiyah Al-Ahmar –perawi hadits dari An-Nasaa-i- berkata,
“Semua kitab sunan adalah shahi, dan sebagiannya ma’lul, hanya saja illatnya
tidak jelas. Dan hadits pilihan yang dinamakan dengan Al-Mujtaba adalah shahih
semua.
Mengenai syarat An-Nasaa-i dalam menyusun kitab sunan ini telah
diterangkan oleh Al-Hadfizh Abu Al-fadhl Muhammad bin Thahir, bahwa didalam
kitab sunan An-Nasaa-i terdapat hadits-hadits yang shahih yang sederajat dengan
syarat Shahih Al-Bukhari dan Muslim, lalu ada hadits yang shahih menurut syarat
Ashabus Sunan, yakni meriwayatkan hadits-hadits dari kaum yang belum terjadi
kesepakatan untuk meninggalkan mereka apabila haditsnya shahih, dengan sanad
muttashil, tidak munqathi dan mursal. Terakhir, hadits-hadits yang mereka
riwayatkan untuk melawan (hadits) dalam bab sebelumnya. Mereka meriwayatkannya,
bukan memastikan keshahihannya. Barangkali perawinya telah menjelaskan illatnya
dengan sesuatu yang mudah dipahami oleh ahli ilmu. Apabila ada yang bertanya,
“mengapa mereka mencantumkan suatu hadits dalam kitab-kitab mereka, padahal
hadits itu tidak shahih menurut mereka?” jawabnya terdiri dari tiga hal:
1.
Orang-orang telah
meriwayatkannya, dan menjadikannya sebagai hujjah, maka mereka mencantumkannya
dan menjelaskan cacatnya untuk menghilangkan syubhat.
2.
Bahwa mereka tidak
mensyaratkan penamaan shahih sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Bukhari dan
Muslim pada bagian kitab mereka.
3.
Hendaknya dilontarkan
bantahan kepada orang yang mengatakan perkataan ini bahwa kita menyaksikan para
fuqaha’ dan para ulama mencantumkan dalil pembanding dalam kitab-kitab mereka,
padahal mereka yakin bahwa itu bukanlah dalil. Maka perbuatan mereka (pemilik
kitab as-sunan) adalah sebagaimana perbuatan para fuqaha tersebut.
Adapun perhatian ulama terhadap kitab sunan An-Nasaa-i, maka mereka
mencurahkan perhatian mereka kepadanya sebagaimana perhatian mereka terhadap
Al-Kutub as-Sittah lainnya, baik dari sisi periwayatan, penyimakan, dan
penyalinannya. Mereka menyusun biografi para perawinya bersama dengan para
perawi al-Kutub As-Sittah.
Mengenai syarah an-Nasaa-i, diantaranya adalah Syarah Imam As-Suyuthi dan
Hasyiyah Imam As-Sindi, dan keduanya telah dicetak. Selain kedua kitab tadi,
Syaikh Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithi rahimahullah telah memulai menulis Syarah
Sunan an-Nasaa-i. Beliau baru mengeluarkan tiga jilid, tetapi kematian
menjemputnya sebelum menyempurnakannya.[2]
[1] Muhammad
bin Ja’far Al-Kattani mengatakan dalam ar-risalah Al-Mustathrafah, “Kitab
As-Sunan menurut istilah ahli hadits adalah kitab hadits yang disusun
berdasarkan bab-bab fikih, mulai dari bab iman, thaharah, shalat dan
seterusnya. Di dalamnya tidak terdapat hadits mauquf, karena ia tidak disebut
sunnah, tetapi bisa disebut hadits. Lihat ar-Risalah al-Mustathrafah, Muhammad
bin Ja’far al-Kattani, hl. 32.
[2] Muhammad
Mathar Az-Zahrani, Tadwin As-Sunnah An-Nabawiyyah; nasy-atuhu wa
tathawwarahu. Terj. Muhammad Rum, MA, et al. (Jakarta: Darul Haq, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar