Senin, 11 Maret 2013

BIOGRAFI IMAM AN-NASAA-I DAN KITAB SUNAN-NYA



Penulis kitab Sunan An-Nasaa-i bernama Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr An-Nasaa-i, beliau biasa dipanggil dengan kunyah Abu Abdurrahman. Beliau lahir pada tahun 215 Hijriyyah dan wafat pada tahun 303 Hijriyyah. Beliau dikenal sebagai hafizh hadits, Syaikhul Islam, pengkritik hadits dan penulis kitab As-Sunan[1], sebagaimana dijelaskan biografinya oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala jilid 14 halaman 125.
Kitab Sunan An-Nasaa-i ini adalah penyeleksian Imam An-Nasaa-i dari hadits-hadits lemah (dhaif) dari kitab Sunan Al-Kubra, sebuah karya hadis beliau sebelumnya, sehingga didalamnya hanya tersisa hadits yang beliau nilai shahih. Latar belakangnya adalah ketika sekembalinya dari perjalanannya menuju Mesir melewati Palestina, maka beliau singgah di kota Ramalah. Kemudian beliau ditanya oleh gubernurnya, “Apakah semua hadits yang terdapat dalam sunan-nya adalah hadits shahih?” beliau menjawab, “Tidak.” Gubernur berkata, “Pisahkan hadits yang shahih darinya!”
Maka beliau meringkasnya sebatas hadits-hadits yang dianggap shahih dan memberinya nama Al-Mujtaba atau al-Mujtana yang juga dikenal dengan nama As-Sunan Ash-Shughra.
Berkaitan dengan metodologi Imam An-Nasaa-i dalam As-Sunan, Ahmad bin Mahbub Ar-Ramli berkata, “Saya mendengar Imam An-Nasaa-i berkata, “Ketika saya bertekad mengumpulkan hadits (kitab as-sunan). Saya beristikharah kepada Allah dalam meriwayatkan hadits dari guru-guru yang mana di hatiku terdapat sedikit aib, kemudian saya memilih untuk meninggalkan riwayat mereka, lalu saya meninggalkan sejumlah hadits dari mereka yang semula saya banggakan.”
Jerih payah Imam An-Nasaa-i dalam menyusun kitab ini mendatangkan banyak pujian dari para ulama lain, misalnya Abu Al-Hasan Al-Ma’afiri, beliau berkata, “Apabila saya memperhatikan hadits yang dikeluarkan oleh ahli hadits, maka hadits yang dikeluarkan oleh imam an-Nasaa-i lebih mendekati shahih dibandingkan hadits yang dikeluarkan oleh selainnya.”
Al-Hafizh Ibnu Rasyid berkata, “Kitab an-Nasaa-i termasuk kutub Sittah yang paling sedikit –setelah ash-Shahihain- memuat hadits dhaif dan perawi cacat. Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzi mendekatinya dalam kategori itu. Sedangkan dari sisi yang lain, Sunan Ibnu Majah bersebrangan dengannya, karena ia bersendirian dalam meriwayatkan hadits dari orang-orang yang tertuduh berdusta.
Muhammad bin Mu’awiyah Al-Ahmar –perawi hadits dari An-Nasaa-i- berkata, “Semua kitab sunan adalah shahi, dan sebagiannya ma’lul, hanya saja illatnya tidak jelas. Dan hadits pilihan yang dinamakan dengan Al-Mujtaba adalah shahih semua.
Mengenai syarat An-Nasaa-i dalam menyusun kitab sunan ini telah diterangkan oleh Al-Hadfizh Abu Al-fadhl Muhammad bin Thahir, bahwa didalam kitab sunan An-Nasaa-i terdapat hadits-hadits yang shahih yang sederajat dengan syarat Shahih Al-Bukhari dan Muslim, lalu ada hadits yang shahih menurut syarat Ashabus Sunan, yakni meriwayatkan hadits-hadits dari kaum yang belum terjadi kesepakatan untuk meninggalkan mereka apabila haditsnya shahih, dengan sanad muttashil, tidak munqathi dan mursal. Terakhir, hadits-hadits yang mereka riwayatkan untuk melawan (hadits) dalam bab sebelumnya. Mereka meriwayatkannya, bukan memastikan keshahihannya. Barangkali perawinya telah menjelaskan illatnya dengan sesuatu yang mudah dipahami oleh ahli ilmu. Apabila ada yang bertanya, “mengapa mereka mencantumkan suatu hadits dalam kitab-kitab mereka, padahal hadits itu tidak shahih menurut mereka?” jawabnya terdiri dari tiga hal:
1.      Orang-orang telah meriwayatkannya, dan menjadikannya sebagai hujjah, maka mereka mencantumkannya dan menjelaskan cacatnya untuk menghilangkan syubhat.
2.      Bahwa mereka tidak mensyaratkan penamaan shahih sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Bukhari dan Muslim pada bagian kitab mereka.
3.      Hendaknya dilontarkan bantahan kepada orang yang mengatakan perkataan ini bahwa kita menyaksikan para fuqaha’ dan para ulama mencantumkan dalil pembanding dalam kitab-kitab mereka, padahal mereka yakin bahwa itu bukanlah dalil. Maka perbuatan mereka (pemilik kitab as-sunan) adalah sebagaimana perbuatan para fuqaha tersebut.
Adapun perhatian ulama terhadap kitab sunan An-Nasaa-i, maka mereka mencurahkan perhatian mereka kepadanya sebagaimana perhatian mereka terhadap Al-Kutub as-Sittah lainnya, baik dari sisi periwayatan, penyimakan, dan penyalinannya. Mereka menyusun biografi para perawinya bersama dengan para perawi al-Kutub As-Sittah.
Mengenai syarah an-Nasaa-i, diantaranya adalah Syarah Imam As-Suyuthi dan Hasyiyah Imam As-Sindi, dan keduanya telah dicetak. Selain kedua kitab tadi, Syaikh Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithi rahimahullah telah memulai menulis Syarah Sunan an-Nasaa-i. Beliau baru mengeluarkan tiga jilid, tetapi kematian menjemputnya sebelum menyempurnakannya.[2]


[1] Muhammad bin Ja’far Al-Kattani mengatakan dalam ar-risalah Al-Mustathrafah, “Kitab As-Sunan menurut istilah ahli hadits adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, mulai dari bab iman, thaharah, shalat dan seterusnya. Di dalamnya tidak terdapat hadits mauquf, karena ia tidak disebut sunnah, tetapi bisa disebut hadits. Lihat ar-Risalah al-Mustathrafah, Muhammad bin Ja’far al-Kattani, hl. 32.
[2] Muhammad Mathar Az-Zahrani, Tadwin As-Sunnah An-Nabawiyyah; nasy-atuhu wa tathawwarahu. Terj. Muhammad Rum, MA, et al. (Jakarta: Darul Haq, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar